"Selamat ya" Aku tersenyum saat kau memberiku selembar kertas berwarna biru bertuliskan namamu, dan nama seorang perempuan. Lagi, senyum yang kupaksakan.
"Jadi juga kau menikah dengannya"
"Mungkin memang ini takdir kita. Aku berharap kau tidak membenciku. Kita masih bisa jadi sahabat. Mungkin kita juga bisa jadi saudara. Aku minta maaf Tari jika ceritanya berakhir seperti ini. Teruslah tersenyum karna aku ingin melihatmu bahagia. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kita, dan untukmu." kau meraihku dan berusaha memelukku.
Aku menjauhkan tubuhmu dan melepaskan pelukan itu.
"Aku bahagia. Dan aku selalu bahagia. Semoga kaupun bahagia dengan Diar. Aku akan datang ke pernikahanmu. Sampaikan salamku untuk Diar. Kalian memang digariskan untuk berjodoh. Sekuat apapun aku mempertahankan benteng itu, tetap saja Diar tak pernah rela aku merobohkannya. Maaf aku sibuk. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."
"Ya, aku pamit. Sampaikan salamku untuk Ibu."
Aku beranjak masuk ke dalam rumah. Kulepas kepergianmu dari balik tirai jendela. Kau masih mematung. Kulihat kau menghempaskan nafas panjang dan berlalu pergi.
"Ibu kira kau akan berjodoh dengan Ryan. Memang jodoh itu rahasia Tuhan ya" Ibu tersenyum, akupun tersenyum. Malam itu dua orang perempuan tersenyum dengan artinya masing-masing.
Aku bergegas ke kamarku dan tanpa kusadari aku menangis. Apa yang kutangisi? Pernikahan Ryan dengan Diar besok, atau karna aku merasa lemah? Ah, entahlah. Aku hanya ingin menangis. Kulihat jam weker hadiah darinya. Mati. Tak ada waktu yang ditunjukkan. Dan tak ada nyalanya yang menerangi tidurku. Aku terlelap bersamaan dengan turunnya air dari langit gelap.
Aku memicingkan mata saat Ibu menyibak tirai jendela kamarku. Sejak kapan dia masuk ke kamarku? Aku tersadar. Sedari tadi aku me rewind ingatanku setahun yang lalu. Aku singkap selimut yang sedari tadi membalut tubuhku. Beranjak dari tempat tidurku dan tersenyum. Aku akan datang kepernikahanmu dan tersenyum bahagia untukmu. Meskipun itu senyum yang kupaksakan untuk kesekian kalinya. Karena ini adalah waktunya. Ya, sudah waktunya kau bahagia dengan hidupmu yang baru. Dan sudah waktunya aku bahagia dengan hidupku yang meski tanpamu.
PROFIL PENULIS
Banyak hal yang tak bisa diucap lewat suara dan hanya
bisa terucap lewat coretan tangan.
Hanya seseorang yang senang menulis dan mengagumi sastra
Hanya seseorang yang senang menulis dan mengagumi sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar