Tatapannya nanar, nafasnya terasa berat seketika. Berdiri tegak dengan pelengkap kerapuhan untuk kemudian berusaha ditutupinya. Perlahan, air matanya memanas, tetapi sekuat tenaga ia tahan hingga dadanya terasa membuncah merasakan kepahitan yang begitu menyiksa.
Hatinya terasa sakit, tidak menerima kenyataan dimana ia
lihat secara langsung. Di depannya terpampang pemandangan yang baginya begitu
menyesakkan. Sepasang manusia menunjukkan saling mengagumi dan mencintai.
Kakinya yang sedari tadi terasa kaku, perlahan ia gerakkan. Berusaha sejauh mungkin
menghindari hal-hal yang menjadikan ia semakin terpuruk.
Bersamaan dengan langkah kakinya yang teratur, hatinya berkata“Lengkap dua tahun aku mengagumimu. Diam-diam menyanjungmu penuh kebanggaan yang selalu terselip di setiap batinku. Mataku tak pernah lepas dari memandangmu. Bagiku, indah itu adalah dirimu. Perasaan ini mengakar begitu dalam.
Menancapkan seluruh kekuatan hingga aku benar-benar tak
berdaya jika sehari tak melihat dirimu sama sekali. Rinduku besar hingga tak
pernah bisa diukur begitu pula rasa kagumku padamu. Aku pun tak malu
menunjukkan bagaimana diriku sebenarnya. Aku selalu mencoba mencari perhatian
lewat tingkahku di depanmu.
Bercerita, bersikap menyebalkan, jail, cerewet, apapun
aku lakukan, asalkan itu memancing kalimat yang membawa kita menjadi lebih
dekat. Lebih dari sekedar teman, itulah yang aku harapkan. Tapi, dirimu tidak
pernah membiarkan itu terjadi. Kamu selalu menjauh dariku seolah-olah aku
seperti wabah penyakit yang benar-benar mematikanmu seketika. Aku tidak berharap
pembalasan darimu, hanya saja aku ingin kamu tahu bahwa perasaanku ada untukmu.
Awalnya aku mencoba berpikir positif. Kekakuanmu ketika
berbicara padaku dan dinginnya tatapanmu ketika melihat diriku, itu memang bagian
sifat darimu. Tapi setelah dua tahun ini aku jadi tahu bahwa sikapmu itu hanya
berlaku untukku.
Yah, aku memang ingin sekali diperlakukan istimewa oleh
seseorang. Diperlakukan berbeda apalagi dengan orang yang begitu aku sayangi.
Tapi bukan perlakuan berbeda itu yang aku maksud. Menyingkirkan aku dari
kehidupanmu adalah hal terpahit yang pernah aku terima.
Bukannya aku memaksamu untuk menerimaku di kehidupanmu,
hanya saja perasaanku padamu semakin lama semakin menyadarkan aku bahwa dirimu
memang terlalu tinggi bagiku. Aku merasa tak pantas mempunyai perasaan ini,
layaknya sebuah benda yang tidak berguna sama sekali. Benda yang tak mempunyai
nilai jual ataupun fungsi sekalipun.
Jika memang tidak bisa lebih, aku pun bisa menerima kalau hanya berteman. Saling
bertegur sapa, bercanda, bertanya kabar, sesuai hubungan seorang teman. Tapi
itu tidak berlaku diantara kita. Kita seperti berada di jarak terjauh dan
selalu ada sesuatu yang menghalangi. Sampai detik ini aku tahu bahwa hatimu
benar-benar bukan untukku”
Reka Reivaldo
Kepalanya ditundukkan semakin dalam dengan mata terpejam menikmati semilir angin yang membawa angannya jauh ke tempat yang tidak diketahuinya. Di bahunya bersandar dengan manjanya kepala seseorang yang dua minggu ini telah menemaninya. Jika ditanya dia bahagia atau tidak, dia segera menggeleng. Bukan tidak bahagia, tapi dia benar-benar tidak tahu.
Kepalanya ditundukkan semakin dalam dengan mata terpejam menikmati semilir angin yang membawa angannya jauh ke tempat yang tidak diketahuinya. Di bahunya bersandar dengan manjanya kepala seseorang yang dua minggu ini telah menemaninya. Jika ditanya dia bahagia atau tidak, dia segera menggeleng. Bukan tidak bahagia, tapi dia benar-benar tidak tahu.
Ada sesuatu yang bergolak di dalam dirinya. Meneriakkan
bahwa dia kehilangan sesuatu yang benar-benar berarti. Seketika matanya terbuka
seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk memalingkan wajah ke balakang.
Tepat disana seorang gadis melangkah menjauh meninggalkan tempat ia duduk
dengan kekasihnya. Dia meringis. Seketika dia tahu akan apa yang hilang
darinya.
Bersamaan dengan tatapan matanya, hatinya berkata
“Dua tahun aku menyimpan perasaan ini terhadapmu. Perasaan terdalam yang pernah aku rasakan. Tersenyum sendiri melihat betapa lucu dan cerewetnya dirimu. Bagiku kamu adalah bagian dari kata sempurna. Sehingga menyadarkan aku bahwa aku memang tidak pernah pantas untukmu.
“Dua tahun aku menyimpan perasaan ini terhadapmu. Perasaan terdalam yang pernah aku rasakan. Tersenyum sendiri melihat betapa lucu dan cerewetnya dirimu. Bagiku kamu adalah bagian dari kata sempurna. Sehingga menyadarkan aku bahwa aku memang tidak pernah pantas untukmu.
Mungkin kamu tidak tahu kalau aku berusaha untuk menutup
mulut dan benar-benar memfokuskan pendengaran jika mendengar kamu mulai
bercerita ini itu. Aku ingin berkomentar mengundang hubungan lebih dari teman.
Tapi mulut ini seketika menjadi kaku, tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu
yang membuat aku terlihat bodoh di depanmu.
Kamu tidak akan pernah tahu bahwa jauh di dalam diriku
selalu berteriak menyebut namamu ‘Rishta Denia’. Maaf, bukan aku bermaksud
untuk selalu menghindar darimu, hanya saja aku tidak ingin kamu melihat lebih
dalam betapa tidak pantasnya diriku untukmu.
Mungkin kamu melihat kekakuan dan dinginnya pandanganku terhadapmu. Bukan
menganggapmu rendah, hanya saja itu satu-satunya jalan agar aku dapat menghapus
rasa ini yang bahkan aku tak berhak untuk merasakannya. Sampai dua minggu lalu,
memutuskan hal lelucon yang benar-benar membuatku sedikit gila.
Menjalani sebuah hubungan hanya sebagai batas pelarian”
Sampai akhirnya, keduanya menyerah. Membiarkan tangan Tuhan mengatur akan apa yang terjadi nanti
-END-
Sampai akhirnya, keduanya menyerah. Membiarkan tangan Tuhan mengatur akan apa yang terjadi nanti
-END-
PROFIL PENULIS
Terlahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara yang
saat ini duduk di kelas XII SMA Negeri 4 Probolinggo.
No. Urut : 360
Tanggal Kirim : 17/12/2013 7:16:07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar